Busana Tradisional Dayak Ngaju
Mengalirnya waktu dan berbaurnya pelbagai
budaya menyebabkan perkembangan estetika masyarakat Dayak Ngaju yang
semakin bergeser dari nilai-nilai asalnya meski tak menghilangkan
substansinya. Hal itu nyata terlihat dengan berkembangnya seni berbusana
masyarakat asli Pulau Kalimantan ini. Awalnya kulit kayu, lalu tenunan
serat alam yang "kasar", kemudian kain tenun halus, kemudian desain yang
tak lagi sekadar fungsional, semua itu adalah fenomena yang menyiratkan
bergesernya nilai-nilai tata cara berbusana dan seni berdandan
masyarakat Dayak Ngaju.
Beratus tahun lalu masyarakat Dayak membuat busana dengan bahan dasar kulit kayu yang disebut kulit nyamu. Kulit kayu dari pohon keras itu ditempa dengan pemukul semacam palu kayu hingga menjadi lemas seperti kain. Setelah dianggap halus "kain" itu dipotong untuk dibuat baju dan celana.
Beratus tahun lalu masyarakat Dayak membuat busana dengan bahan dasar kulit kayu yang disebut kulit nyamu. Kulit kayu dari pohon keras itu ditempa dengan pemukul semacam palu kayu hingga menjadi lemas seperti kain. Setelah dianggap halus "kain" itu dipotong untuk dibuat baju dan celana.
Model
busananya sangatlah sederhana dan semata fungsional. Bajunya berupa
rompi unisex tanpa hiasan apapun. Rompi sederhana ini dalam bahasa Ngaju
disebut sangkarut. Celananya adalah cawat yang, ketika dikenakan,
bagian depannya ditutup lembaran kain nyamu berbentuk persegi panjang,
yang disebut ewah. Busana itu berwarna coklat muda, warna asli kayu, tak
diberi hiasan, tak pula diwarnai, sehingga kesannya sangat alamiah.
Akan tetapi naluri berdandan, yang konon telah bangkit pada hati setiap
manusia sejak ribuan tahun silam, mengusik hasrat masyarakat Dayak
Ngaju untuk "mempercantik" penampilan. Maka baju kulit kayu sederhana
itu pun lalu dilengkapi dengan aksesori ikat kepala (salutup hatue untuk
kaum lelaki dan sal utup bawi untuk para perempuan), giwang (suwang),
kalung, gelang, rajah (tatoo) pada bagian-bagian tubuh tertentu, yang
bahannya juga dipungut dari alam sekitar. Biji-bijian, kulit kerang,
gigi dan taring binatang dirangkai menjadi kalung, gelang dibikin dari
tulang binatang buruan, giwang dari kayu keras, dan berbagai aksesori
lainnya yang mendaurulangkan limbah keseharian mereka. Dan kesederhanaan
pakaian kulit kayu itu kemudian memancarkan esensi keindahan karena
imbuhan warnawarni flora dan fauna yang ditambahkan sebagai pelengkap
busana.
Pada perkembangan
selanjutnya masyarakat Dayak Ngaju pun mulai membubuhkan warna dan corak
hias pada busana mereka. Bahan pewarna itu secara kreatif diolah dari
yang tersedia pada alam sekitar mereka. Misalnya saja, warna hitam dari
jelaga, warna putih dari tanah putih dicampur air, warna kuning dari
kunyit, warna merah dari buah rotan.
Corak hias yang digambarkan pada busana juga diilhami oleh apa yang
mereka lihat di alam sekelilingnya. Maka tampillah stilasi bentuk flora
dan fauna, bunga, dedaunan, akar pohon, burung, harimau akar, dan
sebagainya, menjadi corak hias busana adat. Keyakinan dan alam mitologi
juga memberi inspirasi pada penciptaan ragam corak hias busana adat
sehingga gambar-gambar itu, selain tampil artistik, pun punya makna
simbolik. Pengaruh agama Hindu pada kepercayaan asal masyarakat Ngaju,
yang cenderung animistik, misalnya, melahirkan apa yang kemudian dikenal
sebagai agama Hindu Kaharingan. Sinkretisme itu melahirkan pelbagai
keyakinan dan mitologi dan mengilhami lahirnya corak hias naga, manusia,
dan sebagainya, yang bermakna sangat filosofis.
Salah
satu mitologi masyarakat Dayak Ngaju yang terkenal adalah tentang
penciptaan alam yang melahirkan simbolisasi "pohon hayat" atau "pohon
kehidupan" dalam bentuk corak hias yang dikenal dengan nama batang
goring. Corak hias ini sangat berarti bagi masyarakat Dayak Ngaju
sehingga busana adat untuk upacaraupacara penting - misalnya upacara
tiwah, dalam kepercayaan Kaharingan, untuk mengantar ruh manusia yang
meninggal dunia ke peristirahatannya, upacara meminta hujan, upacara
pengobatan belian obat - kelengkapannya adalah busana dengan corak hias
batang garing. Selain itu, diatur pula pemakaian corak hias busana adat -
berbeda untuk perempuan dan lelaki - bagi para pemuka kelompok, para
tetua adat, panglima perang, kepala suku, dan ahli pengobatan.
Busana Jalinan Serat Alam
Inovasi
yang paling signifikan pada rancangan busana masyarakat Dayak adalah
penguasaan keterampilan menjalin serat alam. Teknik menenun, konon,
diperkenalkan kepada masyarakat Ngaju oleh orang-orang Bugis. Maka kulit
kayu yang semula hanya ditempa menjadi lembaran-lembaran "kain", kini
diolah dengan teknik yang memerlukan kesabaran dan konsentrasi tinggi.
Dari kulit kayu yang telah dihaluskan mereka membuat serat yang dicelup
oleh bahan pewarna alam sehingga dihasilkan benang yang tak tunggal
warna. Mereka pun lalu menciptakan alat penjalin untuk "merangkai" serat
demi serat menjadi bentangan bahan busana untuk baju, celana, ikat
kepala, dan kelengkapan lainnya.
Eksplorasi
terus dilakukan untuk mencari bahan-bahan lain yang bisa dibuat benang.
Mereka kemudian melirik rotan, jenis rumputrumputan, akar tumbuhan,
sehingga "kain" yang dihasilkan menjadi beragam. Rancangan dan fungsi
busana pun turut berkembang. Pakaian yang dibuat bukan lagi hanya untuk
fungsi yang paling mendasar yakni baju dan celana untuk melindungi
bagian tubuh yang dianggap paling penting saja, tapi diperluas untuk
keperluan lainnya. Umpamanya saja sangkarut perang dari jalinan rotan
(sangkarut perang) untuk penahan tusukan anak panah, sumpit, dan tombak.
Orang-orang Cina dan
India memperkenalkan manik-manik yang terbuat dari logam, keramik,
melengkapi yang sebelumnya telah dibuat masyarakat Ngaju dari
biji-bijian, kayu, dan tulang. Selain untuk aksesori, manikmanik itu
juga kemudian diaplikasikan menjadi hiasan busana. Maka busana
masyarakat Ngaju jadi semakin ornamentik dan semarak warna. Akan tetapi,
hiasannya tetap mengekspresikan keakraban mereka dengan alam. Corak
hiasnya masih menampilkan alam flora, fauna, dan mitologi. Dan kini
pucuk rebung, burung enggang, ular, harimau akar, manusia, awan, batang
garing, tampil pula dalam ekspresi yang lain.
Temuan-temuan baru itu kemudian dikembangkan lagi secara kreatif oleh
para perancang busana masyarakat Ngaju. Hasilnya adalah tata busana yang
memadukan kulit kayu, jalinan serat alam, berhiaskan gambar pewarna
alam, dan aplikasi manik-manik dan arguci. Jenis-jenis busana seperti
ini sekarang pun masih bisa dibuat untuk berbagai keperluan, umpamanya
saja, untuk kostum tarian, koleksi museum, atau cendera mata.
Busana Kain Tenun Halus
Para pedagang Gujarat dari India yang datang ke Nusantara membawa serta
kain-kain tenun halus sebagai barang dagangan. Kain-kain tersebut
ditenun dari serat kapas atau sutra. Masyarakat Ngaju, terutama yang
bermukim di daerah pesisir dan pusat kerajaan, memberikan apresiasi
positif terhadap bahan busana yang sebelumnya tidak ada pada khasanah
karya tenun mereka itu. Maka diadaptasilah teknik menenun kain halus itu
dan kreativitas para penenun masyarakat Ngaju kemudian melahirkan juga
kain tenun halus. Betapa tidak, karena ternyata alam Nusatara yang kaya
raya juga menyediakan kapas dan sutra.
Busana
tradisional masyarakat Ngaju yang beredar sekarang ini hampir
seluruhnya dibuat dari kain tenun halus serat kapas atau sutra. Busana
pengantin, pakaian acara-acara adat, kostum taritarian, dan sebagainya,
kebanyakan dibuat dari kain beludru, satin, atau sutra. Akan tetapi
corak hias dan modelnya tidak bergeser jauh dari bentuk asalnya. Pakaian
tradisional masyarakat Ngaju yang sekarang dianggap sebagai busana
daerah Kalimantan Tengah untuk pelbagai upacara adat adalah pengembangan
dari busana tradisonal masa lampau.
Busana kaum perempuan terdiri dari baju kurung ngasuhui berlengan
panjang atau pendek, dari kain satin atau beludru, yang pada bagian
bawahnya diberi corak hias stilasi bentuk flora atau fauna. Paduannya
rok panjang sebatas betis, disebut salui, dari kain yang sama yang juga
diberi corak hias berupa penggayaan bentuk flora atau fauna. Rambut yang
disanggul bentuk sanggul lipat atau dibiarkan terurai dihias ikat
kepala, lawung bawi, dari kain yang sewarna dengan baju dengan sehelai
bulu burung haruei yang diselipkan pada ikat kepala bagian belakang. Dan
aksesori yang dikenakannya adalah kalung manik-manik, dan anting-anting
atau suwang.
Baju kaum
lelaki disebut baju palembangan, model baju pria Melayu tapi berkerah,
juga dari beludru atau satin. Pada kerah, ujung lengan baju, dan bagian
dada, diberi hiasan. Celananya disebut selawar gobeh, celana panjang
"komprang" (tidak ketat) dari kain yang sama dengan bajunya. Sedangkan
penutup kepala dibuat dari kain yang dibentuk seperti peci atau kopiah
yang disebut lawung siam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar